Wayang kulit adalah kesenian tradisional Indonesia yang tumbuh dan
berkembang di kalangan masyarakat jawa. Kesenian ini banyak ditampilkan
ketika ada sebuah perhelatan seperti pesta dan sebagainya. Ternyata,
wayang kulit tidak hanya dijadikan sebagai sebuah pertunjukan melainkan
juga digunakan sebagai media untuk permenungan menuju roh spiritual para
dewa.
Wayang kulit diyakini sebagai awal dari berbagai jenis wayang yang
berkembang saat ini. Wayang jenis ini terbuat dari lembaran kulit kerbau
yang sudah dikeringkan sebelumnya. Wayang kulit dibentuik sedemikian
rupa agar membuat geraknya menjadi dinamis.
Pada bagian siku-siku tubuhnya disambung dengan menggunakan sekrup yang
terbuat dari tanduk kerbau. Lalu bagaimanakah sebenarnya asal mula dari
Kesenian wayang kulit ini? Siapa pencetus pertamanya? Berikut ini adalah
ulasannya.
Asal mula kesenian wayang kulit ini, tidak lepas dari sejarah wayang itu
sendiri. Wayang berasal dari sebuah kalimat yang berbunyi “Ma Hyang”
yang berarti berjalan menuju yang maha tinggi (bisa diartikan sebagai
roh, Tuhan, ataupun Dewa). Akan tetapi, sebagian orang mengartikan bahwa
wayang berasal dari bahasa jawa yang berarti bayangan.
Hal tersebut dikarenakan ketika penonton menyaksikan pertunjukan ini
mereka hanya melihat bayangan yang digerakkan oleh para dalang yang juga
merangkap tugas sebagai narator. Dalang merupakan singkatan dari
kata-kata ngudhal piwulang.
Ngudhal berarti menyebarluaskan atau membuka dan piwulang berarti
pendidikan atau ilmu. Hal tersebut menegaskan bahwa posisi dalang adalah
sebagai orang yang mempunyai ilmu yang lebih serta membagikannya kepada
para penonton yang menyaksikan pertunjukan wayang tersebut.
Sementara itu, untuk asal usul dari sejarah wayang kulit ini belum ada
bukti yang konkret. Ada yang mengatakan bahwa wayang kulit ada sebelum
abad pertama yang bertepatan dengan munculnya ajaran Hindu dan Budha ke
area Asia Tenggara. Hal ini dipercaya sebagai asal mula munculnya wayang
kulit datang dari India ataupun Tiongkok.
Itu dikarenakan kedua negara tersebut mempunyai tradisi yang telah
berjalan secara turun temurun mengenai penggunaan bayangan boneka atau
pertunjukan secara keseluruhan. Selain itu, Jivan Pani juga pernah
mengeluarkan pendapat bahwa wayang berkembang dari dua jenis seni yang
berasal dari Odisha, India Timur. Kesenian tersebut adalah Ravana Chhaya
yang merupakan teater boneka dan tarian Chhaku.
Ada sebuah catatatan sejarah pertama mengenai adanya pertunjukan wayang.
Hal ini mengacu pada sebuah prasasti yang dilacak berasal dari tahun
930 yang mengatakan si Galigi mawayang. Saat itulah sampai sekarang
beberapa fitur teater boneka tradisional tetap ada. Galigi adalah
seorang penampil yang sering diminta untuk menggelar sebuah pertunjukan
ketika ada acara ataupun upacara penting.
Ketika itu, dirinya biasa membawakan sebuah cerita tentang Bima, yaitu
ksatria dari kisah Mahabharata. Penampilan dari Galigi ini tercatat
dalam kakawin Arjunawiwaha yang dibuat oleh Mpu Kanwa pada tahun 1035.
Di dalamnya mendeskripsikan bahwa Galigi adalah seorang yang cepat dan
hanya berjarak satu wayang dari Jagatkarana. Kata Jagatkarana merupakan
sebuah ungkapan untuk membandingkan kehidupan nyata kita dengan dunia
perwayangan. Jagatkarana ini mempunyai arti penggerak dunia atau dalang
terbesar hanyalah berjarak satu layar dari kita.
Meskipun tidak banyak literatur yang menjelaskan mengenai asal mula
kesenian wayang kulit ini, namun seni wayang ini telah diakui sebagai
karya kebudayaan yang amat berharga di bidang narasi oleh UNESCO di
tanggal 7 November 2003. Hal tersebut mungkin dikarenakan bagi UNESCO
dari seluruh jenis wayang yang ada, wayang kulitlah yang menjadi salah
satu wayang yang paling dikenal di Indonesia.
Ada banyak karakter yang terdapat dalam wayang. Nah di dalam salah satu
karakter yang ad di wayang Jawa hidup sebuah karakter yang disebut
Punakawan. Punakawan ini terdiri atas empat orang dan selalu dianggap
sebagai pengikut jenaka dari pahlawan yang menjadi karakter utama dalam
sebuah cerita. Keempat orang tersebut adalah Semar yang juga dikenal
sebagai Ki Lurah Semar, Petruk, Gareng serta Bagong. Semar digambaran
sebagai sosok personifikasi dewa, dan kadang juga digambarkan sebagai
arwah penjaga pintu dari Pulau Jawa itu sendiri. Di dalam mitologi Jawa,
dewa-dewa yang ada tersebut hanya mampu untuk mengubah diri mereka
menjadi manusia yang jelek. Hal itulah yang menyebabkan sosok Semar
selalu jelek dan gendut serta mempunyai hernia yang menggantung.
Sedangkan, dalam asal mula kesenian wayang kulit, wayang kulit ini
terbagi ada beberapa jenis. Salah satunya adalah wayang kulit Gagrag
Banyumas. Wayang kulit yang satu ini mempunyai gaya pendalangan yang
dikenal dengan sebutan pakeliran. Gaya ini dinilai sebagai cara untuk
mempertahankan diri. Perawatan serta kualitas yang mereka tunjukkan di
atas panggung selalu menunjukkan hal lain. Adapun unsur-unsur yang
terdapat di dalam pakeliran ini antara lain lakon, sabet (gerakan yang
akan dilakukan para wayang, catur (narasi dan percakapan antara
karakter. Serta karawita yang berarti musik.
Selain Gagrag Banyumas, ada juga pembagian wayang kulit jenis lain yaitu
wayang kulit Banjar. Sesuai dengan namanya, wayang kulit jenis ini
berkembang di Banjar, Kalimantan Selatan. Sejaka awal abad ke-14,
masyarakat Banjar memang sudah mengenal kesenian wayang kulit ini.
Pertanyaan tersebut semakin diperkuat ketika Majapahit akhirnya berhasil
menduduki beberapa bagian wilayah Kalimantan serta membawa misi untuk
menyebarkan agama Hindu dengan menggunakan pertunjukan wayang kulit
sebagai strateginya. Contoh lain dari jenis wayang kulit adalah wayang
siam yang terkenal di Kelantan, Malaysia. Wayang Siam ini meupakan
pertunjukan wayang one man show. Bahas yang digunakan dalam pertunjukan
tersebut adalah bahasa Melayu. Akan tetapi, tidak ada bukti yang jelas
mengenai awal kemunculan wayang siam ini. Banyak yang kemudian
berpendapat bahwa kesenian tersebut berasal dari Jawa, karena mengikuti
simbol-simbol yang sangat bercorak Jawa.
Ketika itu minat dari masyarakat dan pemuda sangat besar untuk
menyaksikan pertunjukan wayang kulit ini. Akan tetapi, di zaman sekarang
ketertarikan anak muda akan kesenian yang satu ini sangatlah rendah.
Hal itu dikarenakan maraknya permainan berbasis teknologi yang biasa
mereka mainkan. Meskipun demikian, masih ada juga orangtua yang aktif
mengajarkan anak mereka untuk mencintai salah satu kesenian tradisional
ini. Hal itu sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kesenian ini agar
tidak habis ditelan zaman.